KATA PENGANTAR
Puji syukur
kehadirot Allah SWT, yang telah memberikan rahmat sehingga kami (penulis) bisa menyelesaikan
tugas makalah dengan judul “Isu-isu Kontemporer Dalam Studi Islam”.
Sholatullah wasalamuhu semoga tetap tercurahkan kepada
beliau Muhammad Ibnu Abdillah yang telah mengangkis kita semua dari alam kebodohan
menuju lautan ilmu seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak
yang telah ikut andil membantu demi terselesainya makalah ini, dan kepada dosen
pembimbing kami Achmad Ainur Ridho,
M.S.i, yang telah ikhlas membimbing kami.
Sebagai umat manusia, yang tidak mungkin luput dari yang
namanya salah, untuk itu kami (penulis) mohon maaf apabila ada kesalahan baik
dalam tulisan maupun dalam susunan.
Sekaligus harapan
kami (penulis) semoga makalah ini bermanfaat dan juga bisa di implementasikan
dalam tatanan kehidupan masyarakat. Dan kami (penulis) mohon juga kesedian para
pembaca untuk sudi kiranya memberikan kritik dan saran, dengan tujuan agar lebih baik lagi dalam penyusunan
makalah berikutnya.
Pamekasan, 12 Desember
2012
Penulis
DAFTAR ISI
KATA
PENGANTAR...................................................................................
i
DAFTAR
ISI................................................................................................
ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar belakang.................................................................................
1
1.2
Rumusan Masalah ............................................................................ 1
1.3
Tujuan Pembahasan..........................................................................
1
BAB II PEMBAHASAN
2.1
Islam Liberal.....................................................................................
1
2.2
Islam dan Terorisme.........................................................................
8
2.3
Islam dan Pluralisme Beragama........................................................
9
2.4
Islam dan Kesetaraan Gender........................................................
10
BAB III PENUTUP
3.1
Kesimpulan.....................................................................................
20
DAFTAR
PUSTAKA.................................................................................... 22
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Penerapan
Studi Islam dalam proses pengambilan keputusan di pengadilan itu selalu menjadi
masalah, oleh karena rujukan yang digunakan oleh pengadilan atau mejelis hakim
senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri dari beragam kitab fiqh dari
berbagai aliran pemikiran (mazhab), yang berakibat munculnya keberagamaan
keputusan pengadilan terhadap perkara yang serupa. Hal itu sangat merisaukan
para petinggi hukum, terutama dari kalangan Mahkamah Agung dan Departemen
Agama. Dengan diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam, kekosongan hukum itu telah
terisi; dan kerisauan para petinggi hukum teratasi. Tentu saja, keseragaman
keputusan pengadilan yang didasarkan pada KHI merupakan salah satu ujian
efektifitas penerapan hukum tersebut.
Makalah ini disusun, untuk melihat sejauh mana pertentangan Draf Legal Kompilasi Hukum Islam. Dengan pembahasan sejarah dan proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam, kelayakan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber pengambilan keputusan bagi para hakim di pengadilan agama, beberapa problem yang dihadapinya dan lain sebagainya.
Makalah ini disusun, untuk melihat sejauh mana pertentangan Draf Legal Kompilasi Hukum Islam. Dengan pembahasan sejarah dan proses lahirnya Kompilasi Hukum Islam, kelayakan Kompilasi Hukum Islam sebagai sumber pengambilan keputusan bagi para hakim di pengadilan agama, beberapa problem yang dihadapinya dan lain sebagainya.
1.2. Rumusan Masalah
1.
Apa itu islam liberal?
2.
Apa itu islam dan terorisme?
3.
Apa itu islam dan pluralism beragama?
4.
Apa itu islam kesetaraan gender?
1.3. Tujuan Pembahasan
1.
Memahami islam liberal
2.
memahami islam dan terorisme
3.
Memahami islam dan pluralism beragama
4.
Memahami islam kesetaraan gender
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Islam Liberal
Menurut Owen Chadwik Kata “Liberal”
secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka, artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Seandainya kita sifatkan
dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui dalam Islam
memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total. ‘Islam’ itu
sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat dengan
hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas. Tetapi
disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan manusia
dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi, bisa
disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”.
“Islam Liberal” adalah istilah Charles
Kurzman dalam bukunya yang terkenal Liberal Islam: A Source Book.(Edisi
Indonesia: Wacana Islam Liberal) Penggunaan istilah ini sendiri, seperti diakui
Kurzman, pernah dipopulerkan oleh Asaf Ali Asghar Fyzee (1899-1981),
Intelektual Muslim-India, sejak tahun 1950-an. Mungkin Fyzee orang pertama yang
menggunakan istilah “Islam Liberal.”
Entah mengapa Charles Kurzman dalam
bukunya tersebut, memulai pengantarnya dengan membantah istilah Islam Liberal
yang sebenarnya adalah judul bukunya sendiri. Menurutnya, istilah “Islam
Liberal” mungkin terdengar seperti sebuah kontradiksi dalam peristilahan (a
contradiction in terms). Tetapi diakhir tulisannya Ia bilang bahwa istilah
Islam Liberal itu tidak kontradiktif. Namun tetap saja di dalam bukunya masih
ada kerancuan disana-sini.
Banyak sekali istilah Islam Liberal
beredar, namun seiring dengan banyaknya para pemikir Islam yang memakai istilah
ini, jarang sekali yang menjelaskan secara rinci apa itu “Islam Liberal”.
Bahkan Kurzman sendiri yang telah menulis sebuah buku dengan memakai istilah
tersebut tidak menjelaskan secara jelas apa yang Ia maksudkan dengan “Islam
Liberal”. Bahkan Fyzee pun mempunyai istilah lain untuk “Islam Liberal” yaitu
“Islam Protestan”. Menurut Luthfie Assyaukanie, salah seorang pengajar Universitas
Paramadina Mulya, Dengan istilah ini (“Islam Protestan” atau “Islam Liberal”),
Fyzee ingin menyampaikan pesan perlunya menghadirkan wajah Islam yang lain:
Islam yang non-ortodoks; Islam yang kompatibel terhadap perubahan zaman; dan
Islam yang berorientasi ke masa depan dan bukan ke masa silam.
Menurut Luthfie juga, istilah “Islam
Liberal” mulai dipopulerkan sejak tahun 1950-an. Di Timur Tengah, akar-akar
gerakan liberalisme Islam bisa ditelusuri hingga awal abad ke-19, ketika apa
yang disebut “gerakan kebangkitan” (harakah al-nahdhah) di kawasan itu secara
hampir serentak dimulai. Di Indonesia sendiri mulai timbul sekitar Tahun
1980-an yang dibawa oleh tokoh utama dan sumber rujukan utama komunitas Islam
Liberal Indonesia, Nurcholish Madjid. Meski Cak Nur tidak pernah menggunakan
istilah tersebut dalam gagasan-gagasan pemikiran Islamnya, tetapi ia tidak
menentang ide-ide Islam Liberal.
Karna itu istilah Islam Liberal tidak
beda halnya dengan gagasan-gagasan pemikiran Islamnya Cak Nur beserta
kelompoknya yang tidak setuju dengan pemberlakuan syariat Islam (secara formal
dalam Negara) serta yang selalu menyuarakan sekularisme, emansipasi wanita,
persamaan satu agama dengan agama yang lain (pluralisme theologies), dan lain
sebagainya.
Sampai sekarang komunitas Islam Liberal
makin melebarkan sayapnya hingga ke perguruan-perguruan tinggi Islam di
Indonesia. Dampak hadirnya Islam Liberal kita bisa lihat lewat
peristiwa-peristiwa menyedihkan seperti penghinaan terhadap Tuhan (Allah),
penyalahgunaan tafsir alqur’an yang mengandalkan akal semata, sampai kesalahan
dalam menerapkan syari’at Islam.
Sementara itu tokoh-tokoh yang di duga
masuk dalam komunitas Islam Liberal dan menjadi kontributor mereka (Islam
Liberal) adalah :
1. Asaf Ali Asghar
Fyzee (1899-1981), Intelektual Muslim-India.
2. Charles Kurzman,
Univercity of North Carolina.
3. Abdallah Laroui,
Muhammad V Univercity, Maroko.
4. Mohammed Arkoun,
Univercity of Sorbonne, Prancis.
5. Nashr Hamid Abu
Zeyd.
6. Fazlur Rahman,
Direktur Lembaga Riset Islam, Pakistan.
7. Hassan Hanafi,
Pemikir Kontemporer Mesir.
8. Ali Abdul Raziq,
Ulama Al-Azhar (Telah dipecat oleh Haiat Kibaril Ulama, karna bukunya yang
dianggap liberal).
9. Nurcholish
Madjid, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
10. Azyumardi Azra,
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
11. Nazaruddin Umar,
UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta.
12. Komaruddin
Hidayat, Yayasan Paramadina Mulya, Jakarta.
13. Ulil Absar
Abdalla, Lakpesdam-NU, Jakarta.
14. Luthfie
Assyaukanie, Universitas Paramadina Mulya, Jakarta.
15. Dan Lain-lain.
Misi Islam Liberal
Langkah awal Islam Liberal adalah
mula-mula mengacaukan istilah-istilah. Mendiang Prof. DR. Harun Nasution,
direktur Pasca Sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta, berhasil
mengelabui para mahasiswa perguruan tinggi Islam di Indonesia, dengan cara
mengacaukan istilah. Yaitu memposisikan orang-orang yang nyeleneh sebagai
pembaharu. Di antaranya Rifa’at At-Thahthawi (orang Mesir alumni Paris yang
menghalalkan dansa laki perempuan secara Ikhtilath), oleh Harun Nasution diangkat-angkat
sebagai pembaharu dan bahkan dibilang sebagai pembuka pintu ijtihad. Hingga
posisi penyebar faham menyeleweng itu justru didudukkan sebagai pembaharu atau
modernis (padahal penyeleweng agama). Pengacauan istilah itu dilanjutkan pula
oleh tokoh utama JIL yakni Nurcholish Madjid. Dia menggunakan cara-cara
Darmogandul dan Gatoloco, yaitu sosok penentang dan penolak syari’at Islam di
Jawa yang memakai cara: Mengembalikan istilah kepada bahasa, lalu diselewengkan
pengertiannya.
Islam Liberal menyebarkan faham yang
menjurus kepada pemurtadan. Yaitu sekulerisme, inklusifisme, dan pluralisme
agama. Sekulerisme adalah faham yang menganggap bahwa agama itu tidak ada
urusan dengan dunia, negara dan sebagainya. Inklusifisme adalah faham yang
menganggap agama kita dan agama orang lain itu posisinya sama, saling mengisi,
mungkin agama kita salah, agama lain benar, jadi saling mengisi. Tidak boleh
mengakui bahwa agama kita saja yang benar. (Ini saja sudah merupakan faham
pemurtadan). Lebih-lebih lagi faham pluralisme, yaitu menganggap semua agama
itu sejajar, paralel, prinsipnya sama, hanya beda teknis. Dan kita tidak boleh
memandang agama orang lain dengan memakai agama yang kita peluk. (Ini sudah
lebih jauh lagi pemurtadannya). Jadi faham yang disebarkan oleh komunitas Islam
Liberal itu adalah agama syetan, yaitu menyamakan agama yang syirik dengan yang
Tauhid.
Penghancuran Aqidah
Kalau kita sering membuka http://www.islamlib.com,
maka tampak disana-sini banyak sekali lontaran pemikiran yang sangat bervariasi
dari mulai akidah, syariah, sosial, budaya, bahkan politik. Dalam bidang
akidah, kita akan melihat bahwa Islam Liberal mengusung teologi inklusif dan
pluralis. Penyebaran pemikiran teologi inklusif dan pluralis ini sangat fatal
akibatnya jika dibiarkan begitu saja karna pemikiran ini berimbas pada
penhancuran akidah. Apalagi kalau yang mempropagandakan pemikiran tersebut
adalah tokoh-tokoh agama, cendikiawan muslim, para kiai, dan aktivis organisasi
Islam.
Menurut mereka sasaran yang sangat tepat
untuk menyebarkan faham ini adalah para mahasiswa muda lewat
perguruan-perguruan tinggi Islam, buktinya banyak kita lihat mahasiswa di
perguruan-perguruan tinggi Islam yang sudah menerapkan pemikiran ini, bahkan
mereka menganggap pemikiran yang di usung Islam Liberal adalah pemikiran yang
harus diperjuangkan karna sesuai sekali dengan keadaan manusia jaman sekarang.
Parahnya mereka telah mengaburkan konsep
“tauhid Islam” dengan menganggap semua inti agama itu sama (pluralisme). Padahal
alqur’an sudah jelas menyatakan bahwa orang-orang kafir akan masuk neraka
(Al-Bayyinah : 6), namun amatlah mengherankan kalau mereka (Islam Liberal)
mengkampanyekan bahwa “inti semua agama” bahkan agama itu sendiri itu “sama”.
Para pengusung faham “persamaan agama” ini biasanya menggunakan dalil Alqur’an
surah Al-Baqoroh ayat 62 dan Al-Maa’idah ayat 69 untuk
dijadikan pijakan
“Sessungguhnya orang-orang yang beriman,
orang-orang Yahudi, Shabi’in dan orang-orang Nashara, barangsiapa yang beriman
kepada Allah, hari kemudian, dan beramal sholeh, maka tidak ada kekhawatiran
terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.”
Bisa dilihat dalam berbagai pendapat
yang diungkapkan kaum inklusif-pluralis, ayat tersebut dianggap memberikan
legitimasi, bahwa agama apa pun pada dasarnya adalah benar dan dapat dijadikan
sebagai jalan menuju keselamatan. Bahkan mereka menganggap bahwa semua agama
sama akan membawa manusia ke jalan keselamatan. Banyak sekali contoh-contoh
lain dalam pengkaburan konsep tauhid Islam yang dilakukan oleh Islam Liberal,
bahkan kadang lebih radikal lagi.
Penghancuran Syariat Islam
Salah satu misi penting Islam Liberal
adalah penolakan syariat Islam khususnya dalam konteks kehidupan bernegara.
Merujuk pada berbagai tulisan dan komentar di http://www.islamlib.com, dapat dipahami
bahwa penolakan terhadap pemberlakuan syariat Islam di Indonesia salah satu isu
dan misi pokok yang di emban kelompok Islam Liberal.
Banyak sekali syariat-syariat Islam yang
mereka rubah atas dasar tujuan mereka, misalnya saja dalam menafsirkan
ayat-ayat alqur’an banyak sekali yang tidak sesuai dengan tafsir-tafsir ulama
Islam lainnya, seperti menghalalkan nikah beda agama, seorang muslimah dengan
laki-laki non-muslim, padahal sudah dijelaskan dalam alqur’an bahwa nikah beda
agama dilarang. Parahnya lagi adalah mereka menghalalkan nikah sesama jenis
dengan dalih saling cocok. Peristiwa ini pernah terjadi dan yang menikahkan
adalah salah satu dosen perguruan tingi Islam di Indonesia.
Kalau kita sering membuka website Islam
Liberal maka penyimpangan syariat Islam akan banyak kita temui, bahkan mereka
sering kali mengadakan diskusi-diskusi di berbagai universitas misalnya, mereka
menggunakan dalil-dalil yang mereka tafsirkan berdasarkan akal semata. Dengan
mudahnya mereka menafsirkan ayat-ayat alqur’an tanpa mengetahui hal apa saja
yang dibutuhkan seseorang dalam menafsirkan suatu ayat, sehingga menghasilkan
hukum yang tidak jelas dan mentah. Namun banyak diantara kaum muslimin yang
sudah mengadopsi dan mempraktekan syariat yang mereka buat.
Peran Ulama dalam menghadapi Islam Liberal
Ketika maraknya nama Islam Liberal,
banyak sekali ulama-ulama khususnya di Indonesia merasa diresahkan oleh
kemunculan mereka, karna berbahaya sekali bagi umat Islam apalagi masyarakat
‘awam. Banyak sekali usaha-usaha yang dilakukan oleh para ulama Islam. Di mesir
saja contohnya, pada tahun 1992 pernah ditampilkan dalam sebuah forum debat
antara kelompok sekuler yang diwakili oleh Dr. Muhammad Khalafullah dengan
kelompok Islam yang diwakili oleh Dr. Muhammad Al-Ghazali, Dr. Muhammad Imarah.
Pada tahun 1985 pernah juga ditampilkan debat serupa antara Dr. Fuad Zakaria dengan Dr. Yusuf al-Qaradhawi.
Di Indonesia sendiri, banyak sekali
usaha-usaha ulama Indonesia dalam menghadapi Islam Liberal, pada 1 Desember
2002 FUUI (Forum Ulama Umat Indonesia) misalnya, telah mengeluarkan pernyataan
bahwa fatwa mati untuk Ulil Absar Abdalla yang telah menghina umat islam dan
memutarbalikan kebenaran agama. Ada juga KH. A. Khalil Ridwan, Majelis Pimpinan
Badan Kerja Sama Pondok Pesantren se-Indonesia (BKSPPI) menyatakan bahwa apa
yang ditawarkan Jaringan Islam Liberal hanyalah sebongkah kesesatan. Perbedaan
dengan mereka mengalami pedangkalan yang berakhir dengan kesesatan.
Selain pernyataan-pernyatan, ada juga yang berbentuk
tulisan-tulisan, komentar-komentar, seminar-seminar, dan lain-lain.
2.2 Islam Dan
Terorisme
Bagaimana
dalam pandangan islam, cobalah kita lihat daribeberapa ayat kitab suci umat
islam dan hadis hadis rasulullah.Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan
untuk (menjadi)rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' : 107]Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada ummatmanusia seluruhnya, sebagai pembawa berita
gembira dan sebagaipemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.[QS. Saba' : 28]Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa Nabi Muhammad
SAWmemiliki sifat lemah-lembut serta hati beliau terasa amat beratatas
penderitaan yang menimpa pada manusia, maka beliauberusaha keras untuk membebaskan
dan mengangkatpenderitaan yang dirasakan oleh manusia tersebut.Dalam kata lain
perbanyaklah untuk melakukan perbuatan baik,dan berlindung kepada Allah,
bergaul dengan para ulama ” Al ulamawaratsatul anbiya “.
Kejahatan dan
perbuatan jahat, keduanya sama sekali bukan ajaranIslam. Dan orang yang paling
baik Islamnya ialah yang paling baikakhlaqnya. [HR. Ahmad juz 7, hal. 410, no.
20874]Dari beberapa ayat Al Qur’an dan Hadis hadis rasul dapat kitalihat
bagaimana islam memandang teroris dan terorisme. Islamagama yang indah, penuh
kasih cinta dan sayang. Seperti yangdiajarkan rasulullah tuk menyayangi satu
dengan yang lainnya.Maka salah jika mengklaim islam sebagai agama teroris, dan
salahbesar juga jika menghancurkan umat beragama non muslim denganmengedepankan
islam dan menancapkan kata kata ” Jihad fisabilillah ” di hati para orang
islam, seperti kasus bom Bali Amrozi,Imam Samudera dan temannya.“ Dan orang
orang yang berjihad dijalan kami. Sungguh kami benarbenar akan menunjukkan
mereka pada kami “ (QS: Al Ankabut : 69 )“ Siapa siapa yang berjihad maka
sesungguhnya ia erjihad untukdirinya sendiri. “ ( QS: Al Ankabut : 6 ).Makna
jihad sangatlah luas jika dipandang sebelah mata. Jihadberarti berjuang dan
bersungguh sungguh dengan tujuan mendapatmaklamat disisi Allah diatas muka bumi
ini, dengan pengorbanan jiwa dan raga bahakan matipun menjadi taruhan tuk
berjihad. Kalaukita lihat dan dibaca sejenak mudah sekali kita menafsiri apa
itu jihad, secara tanggap jihad seperti para teroris yang mengklaimdirinya
sendiri sebagai sosok yang sangat berharga bagi umat islamlainnya, yang mana
niat mereka ialah berjihad fi sabilillah, sepertiyang kasus Amrozi dan kawan
kawan.Kalau kita maknai jihad hanya seperti itu sangatlah salah, danfatal
akibatnya bagi pertumbuhan dan pemikiran para anak bangsayang notabenenya
mayoritas beragama slam. Kita harus mempunyailmu fiqih dan kaidah kaidah ushul
fiqih yang mumpuni tukmemaknai arti Jihad tersebut. Jihad bisa diterapkan
di kehidupan masyarakat antara lain :Berbuat baik antar sesama, saling
menasihati, berperasangka baik,mengikuti aturan Allah dan Rasulullah serta
menjalankan perintahnya
2.3 Islam dan Pluralisme
Beragama
Pada
umumnya Islam mendefinisikan pluralitas sebagai bentuk hidup bermasyarakat yang
didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti agama, adat, dan
sebagainya. Dalam arti lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi antar
umat beragama. Jika kita merujuk pada pendapat pada orientalis barat yang
mengartikan pluralitas dengan memandang semua agama sama, maka definisi ini
tidak sesuai dengan definisi Islam dalam memandang sebuah pluralitas. Karena
Islam adalah agama yang paling sempurna dan universal. Islam berbeda dengan
agama-agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama samawi pendahulunya
(yahudi dan kristen).
Jika
kita membuka lembaran-lembaran para ulama klasik maupun kontemporer tidak akan
kita temukan istilah pluralisme (ta’addudiyah). Namun masalah ini sama
sekali tidak berarti pluralitas agama tidak mendapatkan perhatian yang cukup
dalam dunia Islam. Tidak adanya terminologi pluralitas dalam Al-Quran, Sunnah
maupun dalam tulisan-tulisan ulama Islam tidak menunjukkan tidak adanya konsep
tentang pluralitas dalam Islam.
Secara
tidak lalngsung para ulama Islam memandang pluralitas sebagai bentuk interaksi
sosial yang berhubungan dengan bagaimana mengatur dan mengurus
individu-individu ataupun kelompok-kelompok yang hidup dalam suatu tatanan
masyarakat yang satu. Baik yang menyangkut hak ataupun kewajiban untuk menjamin
ketenteraman dan perdamaian umum. Jadi permasalah pluralisme lebih mengarah
pada masalah-masalah sosial daripada masalah ketuhanan atau teologi, dimana
wahyu telah menuntaskan secara final dan menyerahkan semuanya pada kebebasan
dan kemantapan individu untuk memilih agama atau keyakinan sesuai yang mereka
yakini, sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kafirun: 109/6 ( لكم دينكم ولي
دين ) yang artinya : “Untukmu agamamu dan untukku
agamaku”. Dan juga Allah menerangkan pada QS. Al Baqarah: 2/256
لااكراه في الدين قد تبين الرشد من الغي فمن يكفرر با لطا غو ت
ويؤ من با لله فقد استمسك با لعروة الوثقي لاانفصام لها والله سميع عليم
Artinya : Tidak ada
paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang
benar dari pada jalan yang sesat. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada
Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia
telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan
Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.
Dengan
demikian terdapat perbedaan yang mendasar antara Islam dan teori-teori
pluralisme agama dalam hal pendekatan metodologis tentang isu dan fenomena
pluralisme agama. Islam memandang pluralisme sebagai sebuah hakikat yang tidak
mungkin dinafikan lagi, sementara teori-teori pluralisme agama hanya melihat
pluralisme sebagai keberagaman yang tidak hakiki. Perbedaan metodologis inilah
yang menimbulkan perbedaan dalam menentukan solusinya. Islam menawarkan solusi
praktis sosiologis oleh karena lebih bersiafa fiqhiyyah (sosial),
sementara teori-teori pluralisme memberikan solusi teologis.
2.4 Islam Dan
Kesetaraan Gender
Orang – orang Barat yang fanatik,
menyerang Islam dengan terang- terangan dan menjadikan isu poligami sebagai
bentuk penghinaan dan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah
poligami , Islam tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan
poligami, bahkan tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Taurat
semuanya, tanpa terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di
dalam Taurat bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak.
Bahkan , bangsa- bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti
bangsa Atsin, Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa
tersebut poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran
Islam. Dalam perundang- undangan Bangsa Cina dahulu, seorang laki- laki di
perbolehkan berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina
memiliki 30.000 istri. \
Bahkan dalam agama Kristen sendiri,
walaupun di dalam Injil tidak di sebutkan secara tegas konsepsi poligami ini ,
namun dalam surat Paulus I di dapati pernyataan bahwa bagi seorang petingi
agama diharuskan mempunyai istri satu saja. Dan ini mengisyaratkan bahwa selain
petinggi agama dibolehkan untuk beristri lebih dari satu. Ini terbukti dengan
pernyataan yang dikeluarkan oleh Wester Mark pakar yang dipercaya dalam bidang
sejarah pernikahan yang isinya : “ Bahwa poligami yang diakui Gereja masih ada
hingga abad 17 M. Dan inipun tejadi pada keadaan- keadaan yang tidak bisa di
dideteksi oleh Gereja dan Negara “
Di dalam Islam , konsepsi poligami telah
diatur di dalam Q.s. Al –Nisa’ , ayat 3. Allah berfirman :
“ Jika kamu takut untuk tidak bisa berbuat adil terhadap
perempuan – perempuan yatim ( jika mengawininya ) , maka nikahilah perempaun-
perempuan lainnya yang kamu sukai : dua , tiga, empat . Jika kamu takut tidak
bisa berbuat adil maka kawinilah satu saja “
Sebab turunnya ayat di atas :
Di sana ada beberapa sebab diturunkannya ayat di atas,
diantaranya, yang paling kuat adalah apa yang diriwayatkan oleh Urwah bin
Zubair ketika beliau bertanya kepada Aisyah ra, tentang ayat tersebut : ( “ wain
khiftum ala tuqsitu filyatama “ ) , Aisyah berkata : “ Wahai anak saudaraku
, ini diturunkan kepada anak perempuan yatim, yang hidup di rumah walinya, dia
ikut makan harta walinya tersebut, dan kebetulan walinya juga mengincar harta
anak yatim tadi dan terpesona dengan kecantikannya, wali tersebut hendak
menikahinya tapi tidak mau berbuat adil di dalam memberikan maharnya , dia
ingin memberikan mahar sama dengan mahar perempuan- perempuan lainnya, maka
Allah melarang untuk menikahinya kecuali kalau bisa berbuat adil di dalam
memberikan mahar yang sederajat dengannya, dan memerintahkan untuk menikahi
perempuan selainnya. Berkata Urwah , berkata Aisyah: “ Sesungguhnya para
sahabat bertanya kepada Rosulullah saw setelah ayat ini, sehingga Allah
menurunkan ayat ( wa yastaftunaka fi nisai ) Berkata Aisyah : “ Adapun
firman Allah ( watarghobuna an tankihuhunna ) artinya jika salah satu
dari kamu tidak mau menikahi anak yatim asuhannya, karena sedikit hartanya dan
tidak cantik. Berkata Aisyah : “ Maka mereka dilarang menikahi anak yatim jika
hanya mengejar kecantikan dan hartanya , kecuali kalau berbuat adil . Hal itu
dikarenakan mereka tidak mau menikahinya jika mereka jelek dan sedikti hartanya
“
Dalam menanggapi ayat di atas ada
beberapa perbedaan pandangan :
Syekh Muhammad Thohir Asyur di dalam tafsirnya menguatkan
apa yang dikatakan Aisyah ra.. Sebelumnya, Ibnu Katsir, walaupun tidak terus
terang, beliau cenderung juga untuk membenarkan riwayat Aisyah ini, dengan
bukti bahwa hanya riwayat ini saja yang diungkapkan dalam tafsirnya dan
menganggapnya riwayat yang paling shohih, padahal di sana ada riwayat- riwayat
lain.
Sayangnya sebagian orang menafsirkan
ayat tersebut dengan penafsiran yang salah. Dengan mengikuti metode tafsir “ maudlui
“ yang bersifat holistis , yaitu yang bersifat menyeluruh, menurut
anggapan mereka, maka mereka membuat komparasi tiga ayat yang terkaitan dengan
poligami. Yang pertama, adalah Qs. Al-Nisa’ : 3, ayat ini semacam
memberi kesempatan untuk poligami. Kedua, adalah ayat yang memberi
peringatan atau warning agar belaku adil: fain khiftum allâ ta‘dilû
fawâhidah (kalau engkau sangsi tidak dapat berlaku adil, satu saja).
Ketiga, Q.S. Al Nisa’ : 129 : “ walan tashtatî’û ‘an ta’dilî bainan
nisâ’ walau harashtum. ( kamu sekalian (wahai kaum laki-laki!) tidak
akan bisa berbuat adil antara isteri-isterimu, sekalipun engkau berusaha
keras).
kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
kesimpulannya adalah satu ayat membolehkan poligami, sementara dua ayat justru (seakan-akan) menafikan terwujudnya syarat pokok berpoligami, yaitu masalah keadilan. Kalau menggunakan proporsi seperti tadi, akan dihasilkan perbandingan dua ayat banding satu. Maka yang menang adalah yang dua ayat, sehingga poligami di larang dalam Islam. Bahkan untuk memperkuat argumen tersebut, mereka menambahkan bahwa ayat yang membolehkan poligami konteksnya adalah perlindungan terhadap yatim piatu dan janda korban perang.
Gaya penafsiran seperti itu, walaupun
ada perbedaan sedikit telah dilakukan oleh Qosim Amin dalam bukunya “ Tahrir al
Mar’ah “kemudian diikuti oleh DR. Nasaruddin Umar, MA, Pembantu Rektor IV IAIN
Syarif Hidayatulah Jakarta, Faqihuddin Abdul Kodir, MA, dosen STAIN Cirebon dan
alumnus Fakultas Syariah Universitas Damaskus, Suriah, Dra. Maria Ulfah
Anshori, Ketua Umum Fatayat NU, Khofifah Indar Parawangsa, mantan Ketua PP.
Muslimat NU, M. Hilaly Basya peneliti YISC Al Azhar Jakarta , yang juga dosen
Fisip di Universitas Muhammadiyah dalam tulisannya : “ Dari Konsumerisme
hingga Ekstasi Seksual,” Bahkan juga oleh Syafi’I Ma’arif , Ketua Umum
Muhammadiyah, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin bisa di sebut di sini
semuanya.
Gaya penafsiran seperti itu, menurut
Syekh Muhammad Muhammad Madani , didalam ilmumantiq disebut “ Safsathoh
“ , yaitu seperti orang yang menunjuk kepada gambar kuda, kemudian dia
mengatakan : “ Ini kuda dan setiap kuda pasti bisa meringkik, maka ini bisa
meringkik “
Lebih ironisnya lagi, cara menafsirkan
ayat dengan sistem voting tersebut telah dijadikan pijakan di dalam pelarangan
poligami di Tunis, yaitu tersebut di dalam pasal yang ke delapan belas , dan
yang melanggarnya akan kena hukuman satu tahun penjara dan membayar denda
sebesar 240 ribu frank . Ayat tersebut,
menurut Pemerintahan Tunis, merupakan bukti bahwa keadilan di dalam poligami
tidak akan pernah terwujud selama-lamanya.
Para ulama menyebutkan bahwa kata “ Adil “ pada ayat yang
pertama ( Q.s al- Nisa’ : 3 ) artinya adalah keadilan di dalam nafkah dan
tempat tinggal serta giliran tidur , dan juga hal lain- lainnya yang masih di
dalam kemampuan manusia. Sedang “ adil “ pada Q.s. al- Nisa’ : 129 : “ walan
tastathi’u an ta’dilu baina an nisai walau harastum “ ( Kamu tidak akan
bisa berbuat adil, walaupun engkau berusaha keras ) adalah adil di dalam
memberikan cinta alami yang ada dalam hati, dan ini memang di luar kemampuan
manusia .
Maka dalam ayat ini, Allah menerangkan
bahwa tabiat manusia itu sendiri sesuai dengan sifat yang diciptakannya tidak
akan bisa mengendalikan kecintaannya kepada sebagian orang saja. Penafsiran
semacam ini di dukung dengan dengan hadits Rosulullah saw , ketika beliau
berdo’a kepada Allah mengadu tentang perbuatannya selama ini di dalam
berpoligami : “ Ya Allah inilah pembagian saya ( kepada istri- istriku ) yang
bisa saya perbuat, maka janganlah Engkau cela aku pada hal- hal yang Engkau
mampu sedang saya tidak mampu ( yaitu kecintaan di dalam hati )
Ini juga di kuatkan dengan bunyi ayat berikutnya : “ fala
tamilu kulla mail fatadzaruha kal mu’alaqoh “ ( Maka , hendaknya
janganlah engkau terlalu cintai , sehingga yang lainnya menjadi terkatung-
katung )
Ayat ini menerangkan dengan sangat jelas
bahwa dalam masalah hati, Nabi Muhammad pun tidak bisa berlaku adil, karena
bagaimanapun derajatnya seseorang , dia pasti ada kecenderungan untuk lebih
mencintai kepada orang yang cocok dan sesuai dengannya . Masing- masing dari
diri kita , tidak akan mungkin bisa mengingkari hal seperti itu, sebagaimana
telah kita rasakan bersama dengan oran – orang yang kita cintai. Dan inilah
fitrah manusia, dan Allah tidak akan meletakkan konsepsi yang bertentangan
dengan fitroh yang telah Ia letakkan pada diri manusia.
Karena tidak ada kemampuan untuk memaksa hatinya dan
membagi rata rasa cinta tersebut , maka Allah mewanti- wanti rosul-Nya agar
tidak terlalu cenderung sekali kepada yang di cintainya dengan sikap yang
membabi buta dan sangat menyolok , sehingga mengakibat istri- istri lainnya
terkatung- katung.
Kalau seandainya benar- benar Allah
telah mengharamkan poligami dengan menggabungkan dua ayat di atas, kenapa
Rosululah saw membiarkan para sahabat berpoligami dan tidak di larang sama
sekali, padahal kedua ayat tersebut telah turun, kemudian diikuti oleh
mayoritas kaum muslimin sepanjang sejarah, hingga datang metode penafsiran
matematika yang unik tersebut , Ini sama saja menuduh kaum muslimin selama ini
telah melakukan bentuk kemungkaran yang di haramkan oleh Allah, yaitu poligami.
Masalah ini, nampaknya tidak pernah tersentuh oleh mereka yang mengharamkan
poligami.
Keterangan di atas , paling tidak , bisa
menjawab apa yang dilontarkan oleh DR. Nasaruddin Umar dalam Desertasinya yang
mengatakan bahwa ayat Q.s. Al- Nisa/ 4: 129 ini dapat di artikan menolak
poligami. Dan dari keterangan tersebut , beliau menyimpulkan bahwa metode
penafsiran maudlui lebih ketat dan lebih tegas terhadap poligami dari pada
metode tahlili . Beliau juga mengatakan bahwa metode maudlui secara umum akan
menghasilkan penafsiran yang lebih moderat terhadap ayat- ayat gender daripada metode
tahlili, karena- menurutnya- metode ini ( mudlui) tidak banyak mengintrodusir
budaya Timur Tengah yang cenderung memposisikan laki- laki lebih dominan
daripada perempuan.
Penulis, sangat kurang sependapat dengan
apa yang beliau ungkapkan, karena terdapat kejanggalan dan kontradiksi di
dalamnya. Keterangannya ada dalam beberapa point di bawah ini :
Pertama : Metode tahlili yang dipakai jumhur ulama
sebenarnya , tidak sekedar menjadikan teks sebagai fokus perhatian saja, tanpa
melihat apa dan bagaimana kasus itu terjadi. Kita temukan dalam buku- buku
tafsir yang menggunkan metode tahlili, para mufasiirun menyebutkan juga asbanu
nuzul, yang berarti memperhatikan apa dan bagaimana kasus tersebut hingga
terjadi. Hampir rata- rata buku- buku tafsir yang besar ( muthowalat )
selalu menyebutkan asbabun nuzul, seperti tafsir at Thobari, tafsir al Qurtubi,
tafsir IbnuKatsir dan lain-lainnya. Yang tidak menyebutkan asban nuzul hanyalah
tafsir –tafsir yang ringkas, seperti , atau tafsir- tafsir yang cenderung membahas
bahasa. Bahkan Ibnu Katsir , walaupun menggunakan metode tafsir tahlili,
tapi dalam kenyataannya beliau juga menggunakan metode maudlui, walau
tidak secara tuntas. Para ulama sering menyebut tafsirnya sebagai tafsir al
Qur’an bil Qur’an, artinya beliau tidak terpaku pada teks yang ada, tetapi juga
meihat teks-teks lain yang terkait dengannya. Metode ini ( pendekatan tekstual
dan kontekstual ) juga di pakai oleh Imam Qurtubi , walaupun lebih cenderung
kepada masalah-masalah hukum. Mufassir kontemporer yang menggunakan metode tahlili,
tapi tidak terfokus pada teks itu saja, adalah tafsir Adwaul Bayan , karya
Muhammad Amien Syenkiti. Dan banyak contoh- contoh lainnya. Hal ini diakui
sendiri DR. Quraisy Syihab , beliau menyakinkan kita, sebagaimana yang di ungkap
oleh DR. Siti Musdah Mulia , bahwa pada prinsipnya hampir seluruh mufassir
menggunakan pendekatan tekstual dan konstektual dalam menarik makna dan pesan-
pesan al Qur’an, atau upaya mereka mengistimbathkan dari teks- teks keagamaan,
yang berbeda hanyalah intensitas penggunaan kedua pendekataan tersebut.
Kedua : Gaya penafsiran yang dicontohkan oleh DR.
Nasaruddin Umar dalam membahas ayat poligami, yang
menurutnya adalah metode Maudlui, atau metode penafsiran secara holistis,
yakni penafsiran al Qur’an secara menyeluruh , pada hakekatnya belum memenuhi
syarat dan banyak cacatnya. Karena beliau menggabungkan dua ayat yang berbeda
artinya, sehingga menghasilkan kesimpulan yang salah. Itu , akibat dari
pembahasanya yang tidak menyeluruh , karena tidak menyertakan hadits yang bisa
menafsirkan ayat tersebt, sebagaimana yang di sebut di atas. Lagi pula beliau
juga tidak menggabungkan dengan ayat lain seperti dalam Qs. Al Nisa’ : 82 ( Apakah
mereka tidak mau tadabbur ( merenungi ) al-Qur’an , seandainya al-Qur’an
tersebut bukan dari sisi Allah, tentunya mereka akan mendapatkan pertentangan
yang banyak di dalamnya ) . Beliau tidak memperhatikan , bahwa menyimpulkan
dua ayat poligami tersebut dengan metode yang beliau pakai, sebetulnya secara
tidak langung menganggap ayat –ayat di dalam al-Qur’an saling bertentangan.
Karena dalam satu ayat, Allah membolehkan poligami dengan syarat adil,
sedangkan dalam ayat lain Allah menafikan adanya keadilan. Selain itu juga,
beliau tidak memperhatikan dampak – dampak sosial, moral dan psikologi manusia.
Sehingga, kesimpulan yang di dapat kurang tepat dan cenderung kontradiksi.
Intinya, metode penafsiran yang beliau anggapnya bersifat holistis ataupun
mencakup secara keseluruhan , justru kenyataannya malah parsial, sedang penafsiran
para ulama dahulu yang di tuduh parsial dan hanya terfokus pada ayat tertentu,
ternyata kenyataannya justru malah holistis dan menyeluruh.
Adapun firman Allah yang berbunyi : “ wain
khiftum ala tuqsithu fil yatama “ , syarat tersebut tidak mempunyai mafhum,
sebagaiamana yang dikatakan Imam Qutubi. Artinya , rasa kawatir untuk tidak
berbuat adil terhadap anak- anak yatim , bukanlah syarat seseorang untuk
melakukan poligami . Dan ini, menurut Imam Qurtubi sudah menjadi kesepakatan
kaum muslimin.
Yang di katakan oleh Imam Qurtubi tersebut , sesuai dengan
ayat lain yang terdapat dalam ( Q.s al- Nisa’ , ayat : 101 ) : ( Apabila
kamu bepergan di atas bumi ini, maka tidaklah mengapa, kamu meng-qhosor
sholatmu , jika kamu kawatir akan diserang orang- orang kafir )
Syarat dalam ayat di atas, tidaklah mempunyai mafhum,
artinya kekawatiran untuk di serang orang kafir, bukanlah syarat untuk
dibolehkan melakukan sholat qoshor.
Ajaran Islam yang membolehkan seorang laki-laki berpoligami
sampai empat istri dengan syarat adil, bukanlah bentuk diskriminasi atas
perempuan, karena ajaran tersebut merupakan salah satu bentuk konsepsi yang
diletakkan oleh Islam untuk menyeimbangkan kehidupan sosial. Islam di dalam
meletakan ajarannya, melihatnya dengan pandangan yang jauh dan dengan
pertimbangan yang bersifat universal serta mempertimbangkan segala seginya,
tidak melihatnya dengan pandangan picik dan parsial. Tidak pula dengan melihat
kepentingan satu pihak dengan mengorbanan kepentingan pihak yang lain. Artinya
menghapus kebolehan seorang laki- laki berpoligami sampai empat istri,
merupakan bentuk diskriminasi terhadap laki- laki dan mengekang kemampuan
kreatifitas suami, sebaliknya membolehkan berpoligami lebih dari empat
merupakan bentuk diskriminasi dan de – humanisasi perempuan serta membunuh
perasaannya yang halus.
Syarat berlaku adil untuk dibolehkannya
berpoligami , seperti yang disebutkan dalam Surat anNisa’ ayat : 3, nampaknya
kurang cukup, menurut sebagian orang , sehingga perlu di tambah syarat lain
yaitu “ harus dalam keadaan darurat “. Kalau diteliti secara seksama syarat
yang di usulkan untuk ditambahkan dalam berpoligami selain berbuat adil, kurang
banyak manfaatnya, karena syarat adil itu sudah mencakup ke arah tersebut. Dan
sayang nya lagi yang mengusulkan syarat baru tersebut, belum menjelaskan
batasan dlarurat yang sebenarnya.
Sebagian orang yang menolak adanya poligami, menyandarkan
pendapat mereka pada larangan Rosulullah saw kepada Ali untuk menikah lagi, dan
memadu putrinya, Fatimah. Mereka mengatakan bahwa larangan ini menunjukkan
bahwa Rosulullah saw sendiri melarang poligami.
Jadi, metode penafsiran matematika tadi
belumlah dianggap kuat untuk menumbangkan dalil- dalil dibolehkannya poligami,
sehingga hadits ini , dimunculkan ke permukaan.
Para ulama , alhamdulillah telah menerangkan kedudukan dan
maksud hadits di atas. Syekh Sayid Sabiq, memberikan judul pada hadist Fatimah
tadi dengan bunyi : “ Hak perempuan untuk mensyaratkan agar tidak dimadu “
Artinya bahwa larangan Rosulullah kepada Ali untuk memadu
Fatimah, bukan karena Rosulullah melarang poligami. Akan tetapi Rosulullah
ingin agar Ali ra menepati syarat yang telah diajukan oleh Rosulullah saw,
dalam hal ini sebagai wali Fatimah, ketika menikahkannya dengan Fatimah.
Apabila seorang wali perempuan mensyaratkan kepada mempelai laki- laki agar
anaknya tidak di madu. Apabila mempelai laki- laki setuju, maka syarat itu syah
dan wajib dilaksanakan , serta tidak boleh di langgar. Seandainya dilanggar,
maka istri berhak mengajukan gugatan untuk membatalkan pernikahan .Begitulah ,
kira- kira arti dari judul yang di tulis Syekh Sayid Sabiq. Mungkin muncul
sebuah pertanyaan, apakah syarat tersebut disebutkan dalam akad antara Ali ra.
Dengan Fatimah ra ? Jawabannya, bahwa para Fuqoha telah menetapkan sebuah
kaidah. “ al Masyrut ‘Urfan kal masyrut lafdhon “ ( sesuatu yang di
syaratkan dengan kebiasaan bagaikan syarat yang di ucapkan ) Artinya walaupun
Rosulullah saw tidak mengucapkan syarat tersebut di dalam akad nikah, akan
tetapi syarat tersebut mestinya sudah dipahami , menurut kebiasaan, bahwa putri
Nabi Muhammad saw, tidak boleh di madu. Dalam kasus ini, menurut teks hadist
ini bahwa Fatimah hendak di madu dengan anknya Abu Jahal , pentolan orang
musyrik yanh menjadi musuh utama Rosulullah saw.
Di sana ada jawaban versi lain, yaitu
larangan Ali untuk memadu Fatimah berkait dengan konspirasi politik yang ada di
baliknya. Diriwayatkan, Rasulullah saw berkhutbah di hadapan khalayak ramai,
“Sejumlah keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah meminta izin kepadaku untuk
mengawinkan putri mereka dengan Ali bi Abi Thalib. Ketahuilah aku tidak
mengizinkan (tiga kali).” Seperti disebutkan dalam Sirah Ibnu Hisyam, larangan
tersebut karena Abu Jahal bermaksud ‘meminang’ Ali untuk menikahi puterinya.
Abu Jahal punya maksud tertentu di balik perkawinan ‘politis’ ini. Hal inilah
yang membuat Rasulullah saw tegas melarangnya. “Tak mungkin berkumpul puteri
Nabiyullah dan musuh Allah dalam satu rumah,” tegas Rasulullah saw. Seandainya
larangan itu ditujukan kepada poligami, tentulah beliau melarang para
sahabatnya berpoligami. Kalau itu terjadi, tak mungkin ada sahabat yang mau
berpoligami. Namun yang terjadi malah sebaliknya. Banyak para sahabat yang
berpoligami.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Islam Liberal: Menurut
Owen Chadwik Kata “Liberal” secara harfiah artinya bebas (free) dan terbuka,
artinya “bebas dari berbagai batasan” (free from restraint). Seandainya kita
sifatkan dengan kata Islam berarti Islam yang bebas dan terbuka. Kita akui
dalam Islam memang tidak ada paksaan namun bukan berarti bebas secara total.
‘Islam’ itu sendiri memiliki makna “pasrah”, tunduk kepada Allah dan terikat
dengan hukum-hukum yang dibawa Muhammad SAW. Dalam hal ini, Islam tidak bebas.
Tetapi disamping Islam tunduk kepada Allah SWT, Islam sebenarnya membebaskan
manusia dari belenggu peribadatan kepada manusia atau makhluk lainnya. Jadi,
bisa disimpulkan Islam itu “bebas” dan “tidak bebas”
Islam dan Terorisme: Bagaimana dalam
pandangan islam, cobalah kita lihat daribeberapa ayat kitab suci umat islam dan
hadis hadis rasulullah.Dan tidaklah Kami mengutus kamu melainkan untuk
(menjadi)rahmat bagi semesta alam. [QS. Al-Anbiyaa' : 107]Dan Kami tidak
mengutus kamu, melainkan kepada ummatmanusia seluruhnya, sebagai pembawa berita
gembira dan sebagaipemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui.[QS. Saba' : 28].
Islam Pluralisme beragama: Pada umumnya
Islam mendefinisikan pluralitas sebagai bentuk hidup bermasyarakat yang
didalamnya terdapat berbagai keanekaragaman seperti agama, adat, dan
sebagainya. Dalam arti lain Islam memandang pluralitas sebagai toleransi antar
umat beragama. Jika kita merujuk pada pendapat pada orientalis barat yang
mengartikan pluralitas dengan memandang semua agama sama, maka definisi ini
tidak sesuai dengan definisi Islam dalam memandang sebuah pluralitas. Karena
Islam adalah agama yang paling sempurna dan universal. Islam berbeda dengan
agama-agama lain. Islam adalah penyempurna agama-agama samawi pendahulunya
(yahudi dan kristen).
Islam
dan Kesetaraan Gender: Orang – orang Barat yang fanatik, menyerang Islam
dengan terang- terangan dan menjadikan isu poligami sebagai bentuk penghinaan
dan diskriminasi terhadap perempuan. Padahal dalam masalah poligami , Islam
tidaklah sendirian, agama Yahudi sendiri justru membolehkan poligami, bahkan
tanpa batas. Para Nabi yang disebutkan di dalam Taurat semuanya, tanpa
terkecuali mempunyai isti lebih dari satu, bahkan disebutkan di dalam Taurat
bahwa nabi Sulaiman mempunyai 700 istri merdeka dan 300 budak. Bahkan , bangsa-
bangsa terdahulu telah mempraktekan konsepsi poligami, seperti bangsa Atsin,
Cina, India, Babilion dan Atsur dan Mesir. Pada bangsa- bangsa tersebut
poligami tidaklah di batasi sampai empat seperti yang ada dalam ajaran Islam.
Dalam perundang- undangan Bangsa Cina dahulu, seorang laki- laki di perbolehkan
berpoligami sampai 130 perempuan. Bahkan beberapa penguasa Cina memiliki 30.000
istri. \
Daftar Pustaka
Sururin. 2005. Nilai-Nilai Pluralisme Dalam Islam : Bingkai
Gagasan Yang Berserak. Bandung : Nuansa.
Dr. Ali, Haidar Ibrahim, Menelusuri Sejarah dan Makna
Fundamentalisme, tth.
Dr. Al-Qardhawi, Yusuf, Islam Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet. 1
Http// Samantho, Ahmad , wordpres.com, Iptek -Di dunia-Islam.2007.
Poerwodarminoto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonnesia, tth.
Studi Islam IAIN SUNAN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, tth
Dr. Al-Qardhawi, Yusuf, Islam Abad 21, refleksi abad 20 dan agenda masa depan, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, cet. 1
Http// Samantho, Ahmad , wordpres.com, Iptek -Di dunia-Islam.2007.
Poerwodarminoto, WJS, Kamus Umum Bahasa Indonnesia, tth.
Studi Islam IAIN SUNAN Ampel Surabaya, Pengantar Studi Islam, tth
Tidak ada komentar:
Posting Komentar