Laman

Jumat, 07 Februari 2014

Semester I-karakteristik Agama Islam



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirot Allah SWT, yang telah memberikan rahmat sehingga kami (penulis) bisa menyelesaikan tugas makalah dengan judul “karakter Studi Islam”.
Sholatan wasalaman semoga tetap tercurahkan kepada beliau Muhammad Ibnu Abdillah yang telah mengangkis kita semua dari alam kebodohan menuju lautan ilmu seperti yang kita rasakan pada saat ini.
Kami (penulis) mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah ikut andil membantu demi terselesainya makalah ini, dan kepada dosen pembimbing kami Bpk. Achmad Ainur Ridho, M.Si.
            Sebagai umat manusia, yang tidak mungkin luput dari yang namanya salah, untuk itu kami (penulis) mohon maaf apabila ada kesalahan baik dalam tulisan maupun dalam susunan.
            sekaligus harapan kami (penulis) semoga makalah ini bermanfaat dan juga bisa di implementasikan dalam tatanan kehidupan masyarakat. Dan kami (penulis) mohon juga kesedian para pembaca untuk sudi kiranya memberikan kritik dan saran,  dengan tujuan agar lebih baik lagi dalam penyusunan makalah berikutnya.
    

Pamekasan, 28 Oktober 2012



Penulis


DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................... i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang................................................................................ 1
1.2 Rumusan Masalah ............................................................................  1
1.3 Tujuan Pembahasan.......................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Studi Al-Qur’an................................................................................. 2
B. Studi Hadits....................................................................................... 7
C. Studi Hukum Islam............................................................................ 9
D. Studi Sejarah Islam.......................................................................... 12
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan..................................................................................... 15

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................... 16


BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Mengingat di Indonesia mayoritas masyarakatnya muslim dan merupakan penduduk muslim terbesar di dunia, tetapi terdapat karakter-karakter anak didik maupun masyarakat indonesia yang tidak sesuai dengan pendidikan islam. Pemerintah indonesia pun kurang mengetahui dan memahami tentang pentingnya pendidikan islam terhadap masyarakat indonesia. Maka kami akan mencoba untuk menela’ah sekaligus membahas akan pentingnya pendidikan islam di masyarakat Indonesia, agar tercipta anak- anak didik atau masyarakat yang memegang teguh sekaligus mengajarkan karakter-karakter islam sesuai dengan karakter islam yang sesungguhnya.
1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka pembahasan makalah ini akan difokuskan pada masalah-masalah sebagai berikut:
  1. Apakah Studi Al-Qur’an itu?
  2. Apakah Studi Hadits itu?
  3. Apakah Studi Hukum Islam itu?
  4. Apakah Studi Sejarah islam itu?

1.3  Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut
  1. Mengetahui dan memahami tentang Studi Al-Qur’an
  2. Mengetahui dan memahami tentang Studi Hadits
  3. Mengetahui dan memahami tentang Studi Hukum Islam
  4. Mengetahui dan memahami tentang Studi Sejarah Islam





BAB II
PEMBAHASAN
A.               Studi Al-Qur’an
a)      Secara Bahasa (Etimologi)
Al-Qur’an merupakan bahasa Arab yang dalam ilmu nahwu dikenal dengan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). Anda dapat menuturkan, Qoro-’a Qor’an Wa Qur’aanan (قرأ قرءا وقرآنا) sama seperti anda menuturkan, Ghofaro Ghafran Wa Qhufroonan (غفر غفرا وغفرانا). Berdasarkan makna pertama (Yakni: Talaa) maka ia adalah mashdar (kata benda) yang semakna dengan Ism Maf’uul, artinya Matluw (yang dibaca). Sedangkan berdasarkan makna kedua (Yakni: Jama’a) maka ia adalah mashdar dari Ism Faa’il, artinya Jaami’un  (Pengumpul, Pengoleksi) karena ia mengumpulkan/mengoleksi sejarah-sejarah, berita-berita dan hukum-hukum.
firman Allah salam surat Al-Qiyamah, ayat 17-18:
¨bÎ) $uZøŠn=tã ¼çmyè÷Hsd ¼çmtR#uäöè%ur ÇÊÐÈ   #sŒÎ*sù çm»tRù&ts% ôìÎ7¨?$$sù ¼çmtR#uäöè% ÇÊÑÈ  
Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu.
b)     Menurut Syari’at (Terminologi)
Al-Qur’an adalah Kalam Allah SWT yang diturunkan kepada Rasul-Nya sekaligus penutup para Nabi-Nya, yakni Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wasallam, melalui malaikat jibril yang disampaikan secara mutawatir. Al-Qur’an ditulis dalam bentuk Mushaf dan membacanya adalah ibadah. yang intinya bahwasanya Al-Qur’an adalah kalamullah, firman Allah ta’ala. Ia bukanlah kata-kata manusia. Bukan pula kata-kata jin, syaithan atau malaikat. Ia sama sekali bukan berasal dari hasil pikiran makhluk, bukan syair, bukan sihir, bukan pula produk kontemplasi atau hasil pemikiran filsafat manusia. Hal ini ditegaskan oleh Allah ta’ala dalam Al-Qur’an surat An-Najm ayat 3-4:
$tBur ß,ÏÜZtƒ Ç`tã #uqolù;$# ÇÌÈ   ÷bÎ) uqèd žwÎ) ÖÓórur 4ÓyrqムÇÍÈ  
                 dan Tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya).
Adapun Tentang kesucian dan keunikan Al-Qur’an ini perhatikanlah kesaksian objektif Abul Walid seorang jawara sastra pada masa Nabi saw: berkata “Aku belum pernah mendengar kata-kata yang seindah itu. Itu bukanlah syair, bukan sihir dan bukan pula kata-kata ahli tenun. Sesungguhnya Al-Qur’an itu ibarat pohon yang daunnya rindang, akarnya terhujam ke dalam tanah. Susunan kata-katanya manis dan enak didengar. Itu bukanlah kata-kata manusia, ia tinggi dan tak ada yang dapat mengatasinya.” Demikian pernyataan Abul Walid.
             Adapun Isi Pokok Ajaran Al Qur’an adalah sebagai berikut:
a)      Aqidah
Aqidah merupakan sebuah ilmu yang berisi tentang ajaran kepercayaan yang wajib dimiliki oleh seluruh umat manusia di dunia. Dalam Al-Qur’an, semua ajaran untuk mempercayai dan berkeyakinan terhadap Allah SWT di jelaskan secara tersurat dan tersirat di dalamnya, barang siapa yang inkar terhadap ajaran Al-Qur’an maka dihukumi kafir.
Adapun Ayat yang menjelaskan tentang Aqidah terdapat pada QS. Ali Imran : 118, sebagai berikut :
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#räÏ­Gs? ZptR$sÜÎ/ `ÏiB öNä3ÏRrߊ Ÿw öNä3tRqä9ù'tƒ Zw$t6yz (#rŠur $tB ÷LêÏYtã ôs% ÏNyt/ âä!$ŸÒøót7ø9$# ô`ÏB öNÎgÏdºuqøùr& $tBur Ïÿ÷è? öNèdârßß¹ çŽt9ø.r& 4 ôs% $¨Y¨t/ ãNä3s9 ÏM»tƒFy$# ( bÎ) ÷LäêZä. tbqè=É)÷ès? ÇÊÊÑÈ  
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.
b)     Ibadah
Ibadah menurut ahli Fuqoha yaitu segala bentuk pengabdian dan ketaata yang dilakukan untuk mendapatkan Ridlo Allah SWT. Gambaran tentang Ibadah dalam Al-Qur’an sangat luas jika kita bahas salah satunya seperti yang termuat dalam rukun Islam yakni shalat, dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa orang-orang mu’min wajib mengerjakan shalat dan membayar zakat yaitu terdapat dalam Q.S.Al-Baqarah [2] :110
واقيمواالصلوة والزكاة وما تقدموالانفسكم من خير تجدواه عند الله, ان الله بما تعملوان بصير
Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan kebaikan apa saja yang kamu usahakan bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahala nya pada sisi Allah. Sesungguhnya Alah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan.( Q.S.Al-Baqarah:110).


c)      Akhlaq
Akhlaq merupakan perilaku dasar yang dimiliki oleh seluruh umat manusia,  akhlaq terdiri dari dua bentuk yaitu akhlaq baik dan akhlaq buruk. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa Allah SWT mengutus Nabi Muhammad SAW sebagai penyempurna Akhlaq bagi umat manusia supaya tunduk kepada Allah dan mengerjakan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
Salah satu ayat yang mengajarkan tentang Akhlaq terdapat pada surah Al-Isra’[17] ayat ke-23 sebagai berikut :
وقضى ربك الا تعبدوا الا اياه وبالوالدين احسانا, اما يبلغن عندك  الكبر احدهما او كلاهما فلا تقل لهما اف ولا تنهرهما وقل لهما قولا كريما
23. Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan "ah" dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia. (Al-Isra’: 23(
d)     Hukum
Al-Qur’an banyak sekali mengajarkan tentang hal yang berkaitan dengan hukum.Di dalamnya banyak memuat hal-hal yang menganjurkan umat manusia yang beriman untuk menjalankan hukum sesuai dengan ajaran islam. Pemberian hukuman hanya ditujukan kepada orang yang benar-benar terbukti bersalah.
Ayat yang mendukungnya terdapat pada surah An-Nisa [4] ayat ke-93 sebagai berikut :
ومن يقتل مؤمنا متعمدا فجزاء ه جهنم خلدا فيها وغضب الله عليه ولعنه واعد له عذابا اليما
93. Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginyah. (Q.S.An-Nisa: 93)
e)      Tadzkir (Peringatan)
Al-Qur’an berisi tentang peringatan-peringatan dari Allah agar umat manusia senantiasa beribadah kepada Allah. Allah SWT memberikan peringatan kepada seluruh umat Nabi Muhammad tentang pedihnya siksa Neraka dan memberikan gambaran kepada mereka tentang nikmatnya surga. Dalam Al-Qur’an gambaran yang menyenangkan disebut Targhib sedangkan yang menyedihkan disebut Tarhib.
Allah memberikan salah satu peringatan kepada manusia dalam surah Ali Imran [3] ayat ke-4 sebagai berikut :
من قبل هدى للناس وانزل الفرقان, ان اللذين كفروا بايت الله لهم عذاب شديد, والله عزيز ذواانتقام
4. sebelum (Al Quran), menjadi petunjuk bagi manusia, dan Dia menurunkan Al Furqaan. Sesungguhnya orang-orang yang kafir terhadap ayat-ayat Allah akan memperoleh siksa yang berat; dan Allah Maha Perkasa lagi mempunyai balasan.(Q.S.Ali Imran: 4)
f)       Sejarah
Al-Qur’an banyak sekali menceritakan kehidupan di masa lampau. Banyak sejarah yang mengisahkan kejayaan manusia yang senantiasa di jalan Allah dan tidak sedikt pula menceritakan tentang kehancuran seseorang ataupun suatu kaum yang inkar terhadap-Nya.
Salah satu contoh bahwa Al-qur’an membahas sejarah yaitu terdapat dalam surah Al-Isra [17] ayat ke-1 yang menceritakan tentang hijrahnya nabi Muhammad SAW. Dari Masjid Al-Haram menuju Masjid Al-Aqsha Sebagai berikut :
سبحان اللذي اسرى بعبده ليلا من المسجد الحرام الى المسجد الاقصى اللذي بركنا حوله لنريه من اياتنا, انه هر السميع البصير
1.                         Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. Al-Isra: 1)
B.    Studi Hadits
Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan ulama muhadditsin adalah ahadits,  dibandingkan bentuk lainnya yaitu hutsdan atau hitsdan.  Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan  “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits.
Ada sejumlah ulama yang merasakan adanya arti “baru” dalam kata hadits lalu mereka menggunakannya sebagai lawan kata qodim (lama), dengan memaksudkan qodim sebagai Kitab Allah, sedangkan yang “baru” ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. Dalam Syarah al-Bukhari, Syaikh Islam Ibnu Hajar berkata: “Yang dimaksud dengan hadits menurut pengertian syara’ ialah apa yang disandarkan kepada Nabi saw. dan hal itu seakan-akan sebagai bandingan al-Qur’an adalah qodim.   
Di dalam al-Qur’an kata hadits disebut sebanyak 28 kali dengan rincian 23 dalam bentuk mufrad dan 5 dalam bentuk jamak (ahadits). Kata ini juga digunakan dalam kitab-kitab Hadits di banyak tempat. Di dalam karyanya Studies in Hadith Methodology and Literature, M.M. Azami, menguraikan pengertian hadits secara lebih rinci. Menurutnya, kata hadits yang terdapat dalam al-Qur’an maupun kitab-kitab Hadits secara literal mempunyai beberapa arti sebagai berikut:
1.    Komunikasi religius, pesan, atau al-Qur’an, sebagaimana terdapat dalam QS. al-Zumar: 23
اللَّهُ نَزَّلَ أَحْسَنَ الْحَدِيثِ كِتَابًا
Artinya:   “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu) al-Qur’an”
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwiyatkan oleh al-Bukhari: “Sesungguhnya sebaik-baik hadits (cerita) adalah Kitab Allah (al-Qur’an)”
2.    Cerita duniawi atau kejadian alam pada umumnya, seperti dalam al-Qur’an QS. al-An’am: 68:
وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آَيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ
Artinya: “Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain”.
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Bukhari: “Dan orang-orang yang mendengar hadits (cerita) sedangkan mereka benci terhadapnya”
3.    Cerita Sejarah (historical stories) sebagaimana terdapat dalam QS. Taha: 9
وَهَلْ أَتَاكَ حَدِيثُ مُوسَى
Artinya: “Dan apakah telah sampai kepadamu kisah Musa”.
Dan juga terdapat dalam Hadits Nabi: “Ceritakanlah mengenai Bani Israil dan tidak mengapa”
4.    Rahasia atau pecakapan yang masih hangat sebagaimana terdapat dalam QS. at-Tahrim: 3
وَإِذْ أَسَرَّ النَّبِيُّ إِلَى بَعْضِ أَزْوَاجِهِ حَدِيثًا
Artinya: “Dan ingatlah ketika Nabi membicarakan secara rahasia kepada salah seorang dari isteri-isterinya suatu peristiwa”
Juga dalam Hadits Nabi yang diriwayatkan oleh al-Tirmizy: “Apabila seseorang mengungkapkan hadits (rahasia) kemudian kemudian dia mengembara maka kata-katanya adalah suatu amanah”
Secara terminologi, ahli hadits dan ahli ushul berbeda pendapat dalam memberikan pengertian hadits. Di kalangan ulama hadits sendiri pada umumnya mendefinisikan hadist sebagai segala sabda, perbuatan, taqrir (ketetapan), dan hal ikhwal yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw. Masuk ke dalam pengertian “hal ikhwal” segala yang diriwayatkan dalam kitab-kita tarikh, seperti hal kelahirannya, tempatnya, dan yang bersangkut paut dengan itu, baik sebelum diutus maupun sesudah diutus. Berdasarkan definisi tersebut, maka bentuk-bentuk Hadits dapat dibedakan sebagai berikut: 1. sabda, 2. perbuatan, 3. taqrir, dan 4. hal ikhwal Nabi saw. Kalangan ulama Ushul mendefinisikan hadits sebagai segala perkataan, perbuatan, dan taqrir Nabi saw. yang berkaitan dengan hukum. Oleh karena itu, tidak masuk dalam kategori hadits sesuatu yang tidak bersangkut paut dengan hukum seperti urusan pakaian.
Jika kita membuka Kitab-kitab Hadits, maka akan segera kita dapatkan banyak riwayat yang tidak berkenaan dengan ucapan, perbuatan, taqrir Nabi, melainkan berkenaan dengan sahabat-sahabat Nabi. Bahkan ada beberapa riwayat yang berkenaan dengan tabi’in. Jalaluddin Rahmat dalam artikelnya memberikan contoh tentang hal ini melalui hadits yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dan an-Nasa’i yang berisi tentang khutbah yang disampaikan oleh Marwan bin Hakam, juga tentang tangkisan Abu Hurairah kepada orang-orang yang menyatakan bahwa dirinya terlalu banyak meriwayatkan Hadits. Hal ini jelas menjadikan definisi hadits di atas tersebut rancu.
Itulah sebabnya maka muncul istilah hadits mauquf, dan hadits maqtu’, suatu istilah yang mengandung kontradiksi terma, karena bukan hadits bila tidak berkenaan dengan Nabi. Kenyataan ini kemudian mendorong sebagian ulama memperluas definisi hadits. Nur al-Din ‘Itr misalnya, menganggap definisi hadits yang paling tepat adalah “apa yang disandarkan kepada Nabi saw. berupa ucapan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat fisik atau etik dan apa saja yang dinisbatkan kepada para sahabat dan tabi’in”. Akan tetapi definisi ini kurang populer di kalangan Muhadditsin. Di samping itu, Hasbi As-Shiddieqy juga mengutip pendapat At-Thiby yang berpendapat bahwa: “Hadits itu melengkapi sabda, perbuatan, dan taqrir Nabi saw; melengkapi perkataan, perbuatan, dan taqrir sahabat, sebagaimana melengkapi pula perkataan, perbuatan, dan taqrir tabi’in.” Dengan demikian, terbagilah hadits kepada sembilan bagian.
C.  Studi Hukum Islam
1. Syari’ah
secara  harfiah  kata syari’ah berasal dari kata syara’a – yasy’rau – syariatan yang berarti jalan keluar tempat air untuk minum[1]. Pengertian lainya yang dikemukakan dalam kitab Buhutsu fi Fiqhi ala Mazhabi li Imam Syafi’i, secara bahasa Syari’ah adalah jalan lurus. Syariah dalam arti istilah adalah hukum-hukum dan aturan-aturan yang disampaikan Allah kepada hamba-hambanya [2] dengan demikian syariah dalam pengertian ini adalah wahyu Allah, baik dalam pengertian wahyu al-Matluww (Al-Qur’an), maupun al-Wahyu gair matluw (Sunnah).
Syariah dalam literatur hukum Islam ada tiga pengertian :
  1. Syari’ah dalam arti sebagai hukum yang dapat berubah sepanjang masa.
  2. Syari’ah dalam arti sebagai hukum Islam baik yang tidak dapat berubah sepanjang masa maupun yang dapat berubah.
  3. Syari’ah dalam pengertian hukum yang digali (berdasarkan atas apa yang disebut Istinbat ) dari Al–Qur’an dan Sunnah.[3]
2. Fiqh
Fiqh secara bahasa berarti fahm yang bermakna mengetahui sesuatu dan memahaminya dengan baik. Menurut pengertian isthilahnya Abu Hanifah memberikan pengertian (Ma’rifatu nafsi ma laha wa ma alaiha) mengetahui sesuatu padanya dan apa apa yang bersamanya yaitu mengetahui sesuatu  dengan dalil yang ada. Pengertian yang Abu Hanifah kemukakan ini umum yang mencakup keseluruh aspek seperti Aqidah dengan wajibnya beriman atau Akhlak dan juga Tasawuf.[4] Pengertian fiqh secara istilah yang paling terkenal adalah pengertian fiqh menurut Imam Syafi’i yaitu pengetahuan tentang syari’ah ; pengetahuan tentang hukum-hukum perbuatan mukallaf berdasarkan dalil yang terperinci.
Berdasarkan dengan perkembangan hukum Islam ke berbagai belahan Dunia, term fiqh berkembang hingga digunakan untuk nama-nama bagi sekelompok hukum-hukum yang bersipat praktis. Dalam peraturan perundang-undangan Islam dan sistem hukum Islam kata fiqh ini diartikan dengan hukum yang dibentuk berdasarkan syariah, yaitu hukum-hukum yang penggaliannya memerlukan renungan yang mendalam, pemahaman atau pengetahuan dan juga Ijtihad[5]. Dalam kajian studi Hukum Islam ini arti fiqh yang dimaksudkan adalah arti fiqh dalam pengertian yang diberikan oleh Imam Syafi’i yang lebih mengkhususkan artian fiqh kepada aturan-aturan mengenai perbuatan mukallaf.
3. Usul al-Fiqh
Usul Fiqh terdiri dari dua kata usul jamak dari asl yang berarti dasar atau sesuatu yang dengannya dapat dibina atau dibentuk sesuatu, dan kata fiqh yang berarti pemahaman yang mendalam. Menurut Istilah, Pengertian usul fiqh adalah ilmu tentang kaedah kaedah dan pembahasan yang mengantarkan kepada lahirnya hukum-hukum syariah yang bersifat amaliah yang diambil dari dalil-alil yang terperinci[6]. Dengan demikian usul al-fiqh adalah ilmu tyang digunakan untuk memperoleh pemahaman tentang maksud syariah. Dengan kata lain usul al-fiqh adalah sistem (metodologi) dari ilmu fiqh.
4. Madzhab
Pengertian mazhab secara bahasa berarti “tempat untuk pergi” yaitu jalan, sedangkan pengertian mazhab secara istilah adalah: pendapat seorang tokoh fiqh tentang hukum dalam masalah ijtihadiyah.Secara lebih lengkap mazhab adalah: faham atau aliran hukum dalam Islam yang terbentuk berdasarkan ijtihad seorang mujtahid dalam usahanya memahami dan menggali hukum-hukum dari sumber Islam yaitu Al-Qur’an dan Sunnah.
5. Fatwa
Fatwa artinya petuah, nasehat, jawaban atas pertanyaan yang berkaitan dengan hukum. Dalam istilah fiqh, fatwa berarti pendapat yang dikemukakan oleh seorang mujtahid atau faqih sebagai jawaban yang diajukan peminta fatwa dalam suatu kasus yang sifatnya tidak mengikat.
Pihak yang meminta fatwa bisa pribadi atau lembaga maupun kelompok masyarakat. Fatwa yang dikemukakan mujtahid tersebut tidak bersifat mengikat atau mesti diikuti oleh si peminta fatwa dan oleh karenanya fatwa ini tidak mempunyai daya ikat. Pihak yang memberi fatwa dalam istilah fiqh disebut dengan Mufti, sedangkan pihak yang meminta fatwa disebut mustafti[9].
6. Qaul
Kata Qaul secara etimologi adalah bentuk masdar dari kata kerja Qala-Yaqulu. Kata Qaul dapat bermakna kata yang tersusun lisan, baik sempurna maupun tidak.10kiranya secara simpel Qaul dapat diartikan sebagai ujaran, ucapan, perkataan. Dalam istilah fiqh kata Qaul dinisbatkan kepada imam atau pemimpin suatu mazhab atau ulama fiqh yaitu berupa perkataan maupun ucapan daripada imam fiqh tersebut. Istilah ini juga dikenal dalam fiqh Imam Syafi’i, yaitu Qaul Qadim dengan Jadid. Qaul Qadim adalah pendapat beliau ketika berada di Irak, sedangakan Qaul Jadid adalah pendapat beliau ketika berada di Mesir.11
D.  Studi Sejarah Islam
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Aceh
a.       Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh
Hampir semua ahli sejarah menyatakan bahwa dearah Indonesia yang mula-mula di masuki Islam ialah daerah Aceh.(Taufik Abdullah, 1983: 4). Berdasarkan kesimpulan seminar tentang masuknya Islam ke Indonesia yang berlangsung di Medan pada tanggal 17 – 20 Maret 1963, yaitu:
-   Islam untuk pertama kalinya telah masuk ke Indonesia pada abad ke-7 M, dan langsung dari Arab.
-   Daerah yang pertama kali didatangi oleh Islam adalah pesisir Sumatera, adapun kerajaan Islam yang pertama adalah di Pasai.
-   Dalam proses pengislaman selanjutnya, orang-orang Islam Indonesia ikut aktif mengambil peranan dan proses penyiaran Islam dilakukan secara damai.
-   Keterangan Islam di Indonesia, ikut mencerdaskan rakyat dan membawa peradaban yang tinggi dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia.(Taufik Abdullah, 1983: 5)
Masuknya Islam ke Indonesia ada yang mengatakan dari India, dari Persia, atau dari Arab. (Musrifah, 2005: 10-11). Dan jalur yang digunakan adalah:
a.   Perdagangan, yang mempergunakan sarana pelayaran
b.   Dakwah, yang dilakukan oleh mubaligh yang berdatangan bersama para pedagang, para mubaligh itu bisa dikatakan sebagai sufi pengembara.
c.   Perkawinan, yaitu perkawinan antara pedagang muslim, mubaligh dengan anak bangsawan Indonesia, yang menyebabkan terbentuknya inti sosial yaitu keluarga muslim dan masyarakat muslim.
d.   Pendidikan. Pusat-pusat perekonomian itu berkembang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran Islam.
e.   Kesenian. Jalur yang banyak sekali dipakai untuk penyebaran Islam terutama di Jawa adalah seni.
Bentuk agama Islam itu sendiri mempercepat penyebaran Islam, apalagi sebelum masuk ke Indonesia telah tersebar terlebih dahulu ke daerah-daerah Persia dan India, dimana kedua daerah ini banyak memberi pengaruh kepada perkembangan kebudayaan Indonesia. Dalam perkembangan agama Islam di daerah Aceh, peranan mubaligh sangat besar, karena mubaligh tersebut tidak hanya berasal dari Arab, tetapi juga Persia, India, juga dari Negeri sendiri.
Ada dua faktor penting yang menyebabkan masyarakat Islam mudah berkembang di Aceh, yaitu:
1.   Letaknya sangat strategis dalam hubungannya dengan jalur Timur Tengah dan Tiongkok.
2.   Pengaruh Hindu – Budha dari Kerajaan Sriwijaya di Palembang tidak begitu berakar kuat dikalangan rakyat Aceh, karena jarak antara Palembang dan Aceh cukup jauh.(A.Mustofa, Abdullah, 1999: 53)
Sedangkan Hasbullah mengutip pendapat Prof. Mahmud Yunus, memperinci faktor-faktor yang menyebabkan Islam dapat cepat tersebar di seluruh Indonesia (Hasbullah, 2001: 19-20), antara lain:
    1. Agama Islam tidak sempit dan berat melakukan aturan-aturannya, bahkan mudah ditiru oleh segala golongan umat manusia, bahkan untuk masuk agama Islam saja cukup dengan mengucap dua kalimah syahadat saja.
    2. Sedikit tugas dan kewajiban Islam
    3. Penyiaran Islam itu dilakukan dengan cara berangsur-angsur sedikit demi sedikit.
    4. Penyiaran Islam dilakukan dengan cara bijaksana.
    5. Penyiaran Islam dilakukan dengan perkataan yang mudah dipahami umum, dapat dimengerti oleh golongan bawah dan golongan atas.
Konversi massal masyarakat Nusantara kepada Islam pada masa perdagangan terjadi karena beberapa sebab (Musrifah, 2005: 20-21), yaitu:
  1. Portilitas (siap pakai) sistem keimanan Islam.
  2. Asosiasi Islam dengan kekayaan. Ketika penduduk pribumi Nusantara bertemu dan berinteraksi dengan orang muslim pendatang di pelabuhan, mereka adalah pedagang yang kaya raya. Karena kekayaan dan kekuatan ekonomi, mereka bisa memainkan peranan penting dalam bidang politik dan diplomatik.
  3. Kejayaan militer. Orang muslim dipandang perkasa dan tangguh dalam peperangan.
  4. Memperkenalkan tulisan. Agama Islam memperkenalkan tulisan ke berbagai wilayah Asia Tenggara yang sebagian besar belum mengenal tulisan.
  5. Mengajarkan penghapalan Al-Qur’an. Hapalan menjadi sangat penting bagi penganut baru, khususnya untuk kepentingan ibadah, seperti sholat.
  6. Kepandaian dalam penyembuhan. Tradisi tentang konversi kepada Islam berhubungan dengan kepercayaan bahwa tokoh-tokoh Islam pandai menyembuhkan. Sebagai contoh, Raja Patani menjadi muslim setelah disembuhkan dari penyakitnya oleh seorang Syaikh dari Pasai.
  7. Pengajaran tentang moral. Islam menawarkan keselamatan dari berbagai kekuatan jahat dan kebahagiaan di akhirat kelak.
Melalui faktor-faktor dan sebab-sebab tersebut, Islam cepat tersebar di seluruh Nusantara sehingga pada gilirannya nanti, menjadi agama utama dan mayoritas negeri ini.

KESIMPULAN
Dapat kami simpulkan tentang karakteristik Agama Islam ialah menyangkut segala aspek yang berkaitan dengan islam, diantaranya:
a.       Studi Al­-Qur’an
Al-Qur’an merupakan bahasa Arab yang dalam ilmu nahwu dikenal dengan mashdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-’a (قرأ) yang bermakna Talaa (تلا) [keduanya berarti: membaca], atau bermakna Jama’a (mengumpulkan, mengoleksi). 
b.      Studi Hadits
Kata hadits merupakan isim (kata benda) yang secara bahasa berarti kisah, cerita, pembicaraan, percakapan atau komunikasi baik verbal maupun lewat tulisan. Bentuk jamak dari hadits yang lebih populer di kalangan ulama muhadditsin adalah ahadits,  dibandingkan bentuk lainnya yaitu hutsdan atau hitsdan.  Masyarakat Arab di zaman Jahiliyyah telah menggunakan kata hadits ini dengan makna “pembicaraan”, hal itu bisa dilihat dari kebiasaan mereka untuk menyatakan  “hari-hari mereka yang terkenal” dengan sebutan ahadits.
c.       Studi Agama Islam
a.       Sya’riah
b.      Fiqih
c.       Ushul Fiqih
d.      Madzhab
e.       Fatwa
f.       Qoul
d.      Studi Sejarah Islam
Pusat Keunggulan Pengkajian Islam Pada Masa Kerajaan Islam di Aceh
b.      Masuk dan Berkembangnya Islam di Aceh





DAFTAR PUSTAKA

Al-Qaradhawi, Yusuf. 1997. Fiqih Peradaban: Sunnah Sebagai Paradigma Ilmu Pengetahuan. (terj). (Surabaya: Dunia Ilmu)
Ali anwar Yusuf, Study Agama Islam untuk Perguruan Tinggi Umum, Bandung : Pustaka Setia, 2003.
Khoiruddin Nasution, Pengantar Study Islam, Yogyakarta : Academia, 2009.
Rosihan Anwar dkk, Pengantar Study Islam, Bandung : Pustaka Setia, 2009.
M. Atho’ Mudzhar, Pendekatan Study Islam, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2009.

1 komentar: