MORALITAS REMAJA,
TANGGUNGJAWAB SIAPA.?
Oleh : Ach. Muzayyin
Maraknya tawuran dan kriminalitas yang di lakukan oleh kalangan remaja khususnya
pelajar (SMP, SMU dan PT), telah membuat orang tua, pendidik, masyarakat dan
pemerintah resah dan gelisah. Ironisnya, selain tawuran banyak remaja yang terlena dengan pergaulan bebas, mengkonsumsi
narkoba, narkotika dan minuman keras sudah menjadi kebutuhan pokok sehari-hari. Parahnya lagi banyak
gadis diusia sekolah (SMP, SMU dan PT) yang menjadi Pekerja Sex Komersial (PSK), prostitusi diberbagai tempat di
Indonesia. Mereka menjadi pemuas lelaki hidung belang, hanya karena
mereka ingin menghidupi diri sendiri, keluarga dan tetap melanjutkan sekolah. Siangnya
mereka belajar sebagaimana pelajar lainnya, malam harinya mereka menjadi kupu-kupu
malam yang menjajakan dan menjual tubuh dan kehormatannya. Agama dan aqidah telah
mereka jual demi mempertahankan hidup dan sekolahnya, Na’udzubillah.
Semakin majunya dan berkembangnya technologi dan komunikasi bukannya
menambah kualitas dan kuantitas hidup
menjadi lebih baik dan lebih taat
kepada agama. Tetapi, malah menjadi moralitas remaja kian terpuruk
dan rusak. Lalu siapakah yang paling bertanggungjawab atas rusaknya moralitas remaja?.
Apakah mereka yang salah atau orang-orang disekitar mereka?. Menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KOMNAS
PA) bahwa selama tahun 2012 tawuran antar pelajar telah mengakibatkan 82
pelajar meninggal. Hal ini, lebih banyak dari pada tahun 2011. Maka yang
paling bertanggung jawab dalam pembentukan moral dan akhlak remaja agar menjadi
remaja yang baik dan berbakti pada agama, nusa dan bangsa.
Pertama, Pendidikan in-Formal yaitu keluarga, karena keluarga adalah tempat pertama dan
utama dalam merawat, mendidik dan membimbing anak-anaknya. Dan yang paling
banyak berperan dalam merawat dan mendidik anak pada sebuah keluarga adalah
seorang ibu daripada seorang ayah. Maka, ”ibu adalah sekolah yang utama”.
Oleh karena itu, sebagai
sekolah yang utama dan pertama seorang ibu harus memberikan pendidikan yang terbaik buat anak-anaknya.
Merawat dan mendidik agar anak-anaknya kelak menjadi anak yang shaleh dan
shalehah. Ibu mempunyai andil yang sangat besar bagi anak-anaknya dalam bidang
apapun, baik itu akhlak, iman, moral, jasmani dan sosial. Apabila seorang ibu
tidak bisa mendidik anaknya dengan baik, maka anak itu kelak akan menjadi anak
yang durhaka terhadap orang tuanya dan bejat serta mempunyai prilaku atau moral
yang tidak baik bagi diri sendiri dan sesama. Tetapi apabila seorang ibu
mendidik anaknya dengan baik dan penuh kasih sayang, maka kelak anak itu
menjadi anak yang berbakti dan berbudi luhur, karena masa depan anak ialah
tergantung pada sejauh mana orang tua mendidik dan membimbingnya.
Kedua, Pendidikan Formal yaitu lembaga pendidikan atau sekolah. Dimana
anak didik diajari, digodok agar menjadi pintar, sukses, ahli dan mapan dalam segala bidang ilmu
pengetahuan, serta menjadi
pribadi yang baik bagi diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Peran guru menjadi
kunci utama dan panutan pertama bagi anak didik, ucapan dan tingkah laku guru
betul-betul dicermati dan diperhatikan bahkan langsung direalisasikan oleh anak
didik. Maka, guru bukan hanya sekedar bertugas menyampaikan pelajaran (transfer
of knowlegde), bukan hanya memberi pemahaman kepada anak didik, tanpa
melakukan evaluasi baik dibidang materi yang diajarkan ataupun prilaku (moralitas). Tetapi, guru sebagai panutan yang digugu dan ditiru harus memberi
dan menjadi contoh tauladan yang baik sesuai dengan nilai-nilai agama (transfer
of Value) bagi anak didik, baik dari segi moral ataupun non-moral.
Guru adalah cermin bagi anak didik, oleh karena itu, guru harus menjadi cermin yang bersih, baik
dan berusaha untuk tidak terkena debu-debu kotor dan hina. Jangan sampai guru
melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai agama, sosial dan etika. Seperti berbuat hal-hal
negatif didepan anak didik, lebih-lebih
anak didiknya yang menjadi objek utamanya. Merebaknya kasus asusila atau
pencabulan yang dilakukan oleh guru kepada anak didiknya sendiri, dan membawa
kabur anak didik. Semua ini, telah menjadi perbincangan hangat dan aktual
setiap hari dimedia elektronik maupun dimedia cetak. Jasa guru tercoreng oleh segelintir guru yang
tidak berperikemanusiaan. Bahkan sekolah dijadikan ladang kemaksiatan
untuk memenuhi kebiadaban nafsu bejat sang guru. Maka, jangan salahkan anak
didik jika moralitas mereka salah dan keliru. Tapi, gurulah yang harus
bertanggungjawab terhadap semua ini, “Guru kencing berdiri, maka murid
kencing sambil lari”. Maka, guru bukan hanya memberi contoh hal-hal positif
dan baik saja, tapi juga harus menjadi contoh.
Ketiga, Pendidikan non-formal yaitu masyarakat atau lingkungan, sebagai
makhluk sosial (Zoon Politicon) remaja tidak lepas dari kehidupan
bermasyarakat. Maka, masyarakat harus menjadi kontrol dan contoh yang baik bagi
para remaja. Masyarakat jangan segan-segan untuk menegur remaja yang melanggar
norma sosial, terutama norma agama. Harus ekstra hati-hati dalam bertindak dan
berprilaku, karena tindakan dan prilaku masyarakat juga akan mempengaruhi
pikiran dan prilaku remaja. Demikian juga, remaja jangan sepenuhnya pasrah
terhadap lingkungan atau keadaan masyarakat. Lingkungan yang tidak baik dan
jauh dari nila-nilai agama dan etika sosial harus diperbaiki sesuai dengan
tuntunan agama dan bangsa.
Remaja sebagai pemegang estafed nusa, bangsa dan agama harus menjadi generasi dan contoh yang baik
dan positif. Maka, untuk menciptakan generasi yang berkualitas kerjasama yang
baik dan konsisten menjadi syarat utama mulai dari keluarga, lembaga pendidikan,
masyarakat dan pemerintah. Orang tua tidak hanya mengontrol anaknya di dalam keluarga saja, sekolah juga tidak cukup
mengontrol anak didiknya disekolah saja, demikian juga masyarakat harus menjadi kontrol yang baik. Pemerintah juga
harus menjaga, mengawasi dan menjadi kontrol yang baik bagi para pelajar dan
pemuda. Jangan sampai program pemerintah tentang Pendidikan Karakter hanya
menjadi isapan jempol belaka, tanpa melahirkan pemuda atau penerus bangsa yang
berakhlak mulia dan taat beragama serta berjiwa luhur sesuai dengan norma
pancasila. Maka untuk menciptakan generasi emas dan baik, taat beragama, serta
berbudi luhur, perlu adanya kesinambungan dan berkelanjutan dalam mengawasi,
mengajarkan, mendidik dan membimbing para pelajar dan remaja dimanapun dan
kapanpun. Orang tua, para guru, masyarakat, dan pemerintah harus merealiasasikan dan meng-implementasi-kan prilaku
dan perbuatan baik agar para pelajar
dan remaja juga merealiasasikan dan meng-implementasi-kannya dalam kehidupan mereka sehari-hari. Karena, “Air
yang jernih hanya mengalir dari aliran air yang jernih”. Jika semua lini telah bersatu padu untuk
menciptakan generasi yang lebih baik, maka perubahan besar
akan terjadi dan betul-betul menjadi kenyataan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar